MEMAHAMI METODE AVERAGE COST DALAM SISTEM INVENTORY
Inventory merupakan nyawa dari sebuah usaha retail, sehingga pencatatan terhadap inventory harus dilakukan dengan sebaik-baiknya. Dalam sistem inventory tersebut umum digunakan 2 cara pencatatan yaitu, sistem periodik dan sistem perpetual.
Namun Kedua sistem pencatatan ini digunakan sesuai dengan jenis usaha yang dijalankan, jadi setiap perusahaan memiliki sistem pencatatan yang berbeda. Saat dilakukan pencatatan inventory ini perusahaan juga akan menentukan biaya dari persediaan barang.
Untuk biaya persediaan barang sendiri dihitung berdasarkan metode tertentu. Sebagian dari anda mungkin sudah sangat familir dengan metode FIFO dan LIFO dalam akuntasi persediaan, namun selain dari kedua metode terdapat sebuah metode lain yang dapat juga diaplikasikan dalam pengelolaan inventory.
Metode Average cost diaplikasikan untung menghitung biaya dari persediaan akhir dan juga mengitung harga pokok penjualan pada setiap periode atas dasar biaya tertimbang rata-rata per unit persediaan.
Biaya tertimbang rata-rata dihitung menggunakan rumus :
Biaya rata-rata per unit = Total Nilai dari Inventory : Total Unit dari Inventory
Sama halnya dengan metode FIFO dan LIFO, metode Average Cost juga dapat diaplikasikan dalam sistem periodik dan sistem perpetual dalam inventory.
Dalam sistem inventory secara periodik, biaya tertimbang rata-rata per unit adalah perhitungan untuk seluruh kelas dari inventory. Yang kemudian dikalikan dengan jumlah unit terjual dan jumlah unit dalam akhir inventory untuk mendapatkan biaya dari barang yang terjual dan nilai dari persediaan akhir secara berturut-turut. Sedangkan dalam sistem inventory perpetual, biaya tertimbang rata-rata per unit dihitung terlebih dahulu sebelum transaksi penjualan.
Untuk lebih memahami mengenai metode average cost dalam inventory sistem, perhatikanlah contoh perhitungannya dibawah ini :
Contoh Perhitungan average cost
Berikut data pembelian dan penjualan pada bulan Maret
Tanggal | Transaksi | Nilai |
---|---|---|
01 Maret | Jumlah unit diawal bulan | 300 @Rp. 2000 |
05 Maret | Pembelian | 500 unit @Rp. 3000 |
07 Maret | Penjualan | 250 unit |
13 Maret | Pembelian | 600 unit @Rp. 3.500 |
15 Maret | Penjualan | 300 unit |
20 Maret | Pembelian | 400 unit @Rp. 4.000 |
25 Maret | Pembelian | 600 Unit @Rp. 4.500 |
26 Maret | Penjualan | 400 Unit |
27 Maret | Penjualan | 500 Unit |
30 Maret | Pembelian | 600 Unit @Rp. 5.000 |
Penyelesaian :
Tanggal | Jumlah unit | Harga Per Unit (Rp.) | Total Biaya |
---|---|---|---|
01 Maret | 300 | 2.000 | 600.000 |
05 Maret | 500 | 3.000 | 1.500.000 |
13 Maret | 600 | 3.500 | 2.100.000 |
20 Maret | 400 | 4.000 | 1.600.000 |
25 Maret | 600 | 4.500 | 2.700.000 |
30 Maret | 600 | 5.000 | 3.000.000 |
TOTAL | 3.000 | 11.500.000 |
Summary
Biaya rata-rata per unit = Rp. 11.500.00 : 3000 unit = Rp. 3833 / unit
Jumlah unit yang tersedia untuk dijual = 3000
Jumlah Unit Yang Terjual (250 + 300 + 400 + 500) = 1450
Jumlah unit yang belum terjual = 1550
Jumlah biaya barang terjual = Rp 3833 x 1450 unit = Rp. 5.557.850
Biaya dari persediaan akhir = Rp. 3833 x 1150 unit = Rp. 4.407.950
Dibandingkan dengan 2 motode lain FIFO dan LIFO metode Average Cost ini memiliki kelebihan dan kekurangan rata-rata berada dipertengahan antara 2 metode tersebut.
Dengan adanya metode perhitungan biaya persediaan tersebut dapat membantu anda para retailer dalam mendapatkan hasil biaya akhir yang tepat akurat.
Dengan adanya contoh perhitungan diatas, semoga dapat memberikan pemahaman kepada pembaca mengenai metode average cost.
Baca Juga : Tips Memilih Inventory Management Software